Berguru Kepada Prabu Airlangga Dalam Menangani Sungai Dan Banjir
Oleh: Kyota Hamzah
Saat
ini banjir jadi pembicaraan yang hangat, baik skala lokal maupun nasional. Banjir
bisa berasal dari curah hujan yang berlebih atau air pasang di lautan. Sejak dahulu,
masalah banjir jadi perhatian serius para raja di Nusantara. Sebab saat banjir,
hasil panen akan berkurang dan jalan untuk mengangkut logistik ke dan dari ibukota
kerajaan akan tersendat.
Di
Jawa timur, terutama di bantaran sungai Brantas dan Bengawan Semanggi (nama lama
bagi Bengawan Solo), sungai menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sungai menjadi sumber
kehidupan di mana air sungai dimanfaatkan untuk mengairi sawah dan ladang.
Bebatuan dan pasir yang ada di dalamnya dimanfaatkan untuk pembangunan sarana peribadatan
maupun fasilitas umum lainnya.
Hanya
saja ada masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di sekitar dua sungai
tersebut. Masalah banjir jadi persoalan yang datang setiap tahun kala musim penghujan
datang. Kala air meluap, ladang dan sawah terendam. Sedangkan sarana transportasi
seperti perahu getek tidak bisa melintas. Jalanan akan susah dilalui oleh kendaraan
yang bertenaga hewan seperti sapi dan kuda.
Melihat
potensi besar tersebut, raja Airlangga dari Kahuripan membangun jalur buatan untuk
pemecah arus sungai. Bendungan dan kanal banyak dibangun di sekitar sungai Brantas.
Di sekitar Bengawan Semanggi diperkuat dinding penahan sungai. Salah satu karya
fenomenalnya adalah pertirtaan yang ada di kawasan pegunungan penanggungan. Tata
kelola mata air benar-benar diperhatikan namun tidak kehilangan sentuhan seni dan
nilai ekonomis.
Masyarakat
yang ada di bantaran sungai juga menikmati hasil. Mereka yang mau tinggal dan merawat
kanal, bendungan, dan bangunan di sekitar sungai akan mendapat keringanan pajak
dari kerajaan. Hasil pertanian berlimpah dan distribusi logistik juga lancar baik
melalui jalur sungai maupun jalur darat.
Itulah
alasan mengapa Airlangga dari Kahuripan, diumpamakan sebagai Dewa Wisnu oleh rakyatnya. Raja Airlangga
berhasil menjaga sungai-sungai dan menggerakkan rakyatnya. Ekosistem tidak rusak
serta masyarakat sekitarnya juga sejahtera. Karena itu dia dianggap Dewa Wisnu yang turun ke bumi.
Dalam
mitologinya, Dewa Wisnu dianggap pemimpin dan
Garuda adalah penggambaran dari semangat rakyat. Dua kombinasi ini yang pernah membuat
kerajaan Kahuripan dianggap besar walau usianya singkat. Oleh karena itu perlu kita
meneladani sifat ini dimana yang memimpin dan yang dipimpin saling bekerjasama demi
mencapai tujuan bersama.
Sungai
dan hajat hidup manusia
Tidak
hanya Airlangga saja yang menyadari betapa pentingnya sungai. Bila melihat sejarah
yang dahulu, rata-rata peradaban manusia yang memiliki usia tua berasal dari tepi
sungai. Peradaban Mesopotamia, Mesir, Indus, Yang ze, Eropa hingga Jawa berawal
dari sungai.
Bila
dipikir lagi, manusia tidak bisa lepas dari air dan semua kehidupan juga membutuhkan
air. Oleh sebab itu, sungai dianggap titik vital yang harus dijaga keberadaannya.
Sistem irigasi dan pelestarian lingkungan melalui kesepakatan bersama jadi aturan
yang ditaati oleh masyarakat sekitar.
Hanya
saja, seiring berjalannya waktu, keinginan mencari untung sendiri jadi semacam penggoda
yang lihai menipu kita. Acap kali sungai dikorbankan untuk memaksa penghuni, sekitar
untuk pergi dan hasilnya dikuasai oleh segelintir. Bukan hanya yang nyata saja seperti
manusia dan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan, bahkan yang tak nampak
pun (seperti bakteri pengurai) juga merasa terganggu oleh ulah manusia model ini.
Karenanya
sungai jadi pusat kehidupan yang seharusnya menghidupi bukan merenggut hidup makhluk
hidup. Selama kita menjaga kesucian sang sungai, sungai akan asih pada penghuni
di tepi sungai. Bukan hanya sungai, semua makhluk akan ikut serta menjaga mereka
yang menjaga. Sebagaimana Airlangga menjaga sungai Brantas dan Bengawan
Semanggi, maka orang-orang menganggapnya seperti Wisnu karena menjaga ekosistem
yang ada. Menjaga bumi dan sungai dalam sebuah harmoni.
Tentang
penulis
Kyota Hamzah, seorang manusia biasa yang
berasal dari Sidoarjo. Tertarik
memulai menulis sejak 2011 hingga sekarang, dari tulisan berbentuk puisi, cerpen,
dan esai. Tertarik dengan sejarah terutama sejarah kolonial Hindia Belanda dan aktif
dalam acara literasi maupun seni. Dalam keseharian, Kyota Hamzah seorang penjual
jamu dan suka mengoleksi barang antik seperti uang lama, buku, maupun dokumen lama.
Sedikit nyeleneh dan suka mencoba hal baru. Sampai
saat ini masih terus belajar mengenai sejarah dari pecinta sejarah dan mendalami
kisah yang terkandung dalam koleksi barang antik. Berharap bisa memiliki sanggar
sejarah untuk belajar sejarah dan agar tidak lupa asal diri.
Facebook:
Kyota_hamzah
Instagram:
Kyo_ta_hamzah
Email:
kyotahamzah@yahoo.com
Posting Komentar untuk "Berguru Kepada Prabu Airlangga Dalam Menangani Sungai Dan Banjir"
Posting Komentar