Widget HTML #1

Apa dan Bagaimanakah I'tikaf di Bulan Ramadan?


Salah satu amalan yang sangat populer di bulan Ramadan, khususnya di akhir-akhir Ramadan, adalah i'tikaf. Biasanya, para "pemburu berkah" Ramadan, sangat berminat untuk melakukan i'tikaf, sebuah amalan yang memang sangat mulia ini. Sejatinya, i'tikaf memang sangat dianjurkan untuk dilakukan.

Dari ‘Aisyah r.a. bahwa ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau. Kemudian aku melakukan i’tikaf setelah beliau.” (HR Bukhari Muslim)

Hadist ini menjadi salah satu dalil untuk dilakukannya i'tikaf, khususnya pada 10 hari terakhir bulan Ramadan. Secara bahasa, i'tikaf berasal dari kata akafa, atau mendiami sebuat tempat. Secara istilah, i’tikaf berarti berdiam diri di masjid dalam satu masa atau tempo tertentu untuk melakukan amalan-amalan tertentu demi mengharapkan ridha Allah.

Batasan Waktu I'tikaf

Berapa lama menetap di masjidnya? Menurut Imam Abu Hanifah atau yang lebih dikenal sebagai Mazhab Imam Hanafi, bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang sebentar akan tetapi tidak ditentukan batasan lamanya. Jadi bisa sejam, dua jam, dan sebagainya. Tentu lebih lama lebih baik. Berdasarkan mazhab ini, ketika kita mendatangi sebuah masjid, misal di waktu menjelang shalat dhuhur, lalu kita dhuhur dan duduk di sana sekitar 2 atau 3 jam untuk berzikir, membaca Al-Quran atau mengerjakan amal lainnya, maka kita sudah disebut melakukan i'tikaf.

Sedangkan menurut Imam Malik, atau Mazhab al-Malikiyah i’tikaf dilaksanakan dalam waktu 10 hari dan maksimal 30 hari. Imam Syafi'i tidak memberikan batasan waktu, bisa sebentar atau lama, tapi menurut beliau sebaiknya minimal sehari. Sedangkan Imam Hanbali menyebutkan bahwa i'tikaf minimal satu hari satu malam. Jadi, minimal 24 jam kita menetap di masjid untuk melakukan amal-amal ibadah. Tentu tetap boleh tidur dan melakukan kegiatan rutin lainnya seperti makan dan minum di saat berbuka, mandi, atau aktivitas rutin lainnya. Tetapi, tentu kegiatan utama dari i'tikaf adalah melakukan ibadah seoptimal mungkin.

Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, i’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misal dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam). Sumber dari sini

Tempat I'tikaf

Tempat i'tikaf yang afdal tentu di masjid. Pertanyaannya, di masjid seperti apa kita beri'tikaf? Apakah bisa di mushola atau langgar kecil? Mayoritas ulama berpendapat bahwa sebaiknya i'tikaf dilakukan di masjid jami. Menurut Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah: sangat diutamakan masjid jami atau masjid yang biasa digunakan untuk melaksanakan salat Jum’at, dan tidak mengapa i’tikaf dilaksanakan di masjid biasa.

Sementara, untuk perempuan, menurut Imam Abu Hanifah, tempat bisa di bukan masjid, bisa di ruang yang memang dikhususnya untuk shalat di dalam rumah. Pendapat ini cukup ringan untuk diterapkan kaum perempuan yang tentu memiliki banyak kendala untuk bisa berdiam diri di masjid.

Amalan Saat I'tikaf

Pada prinsipnya, i'tikaf bisa dilakukan kapan saja. Tetapi paling utama tentu 10 malam terakhir Ramadan, dengan goal utama mendapatkan lailatul qodar. "Carilah lailatul qadr pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan." (HR. Al-Bukhari No. 2017, Muslim No. 1169)

Ada juga hadist ini: "Barangsiapa yang shalat malam pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Al-Bukhari No. 2014, Muslim No. 760).

Saat i'tikaf, kita bisa mengerjakan amalan apa saja, baik yang merupakan ibadah khos atau yang jelas tuntutanannya seperti sholat atau membaca Al-Quran, atau ibadah yang sifatnya 'ammah, seperti membaca buku, menulis, mendengarkan ceramah, dan sebagainya.

I'tikaf untuk Perempuan

Kaum perempuan tentu juga boleh i'tikaf. hadistnya: "Rasulullah saw selalu beri'tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau, istri-istri beliau pun melakukan i'tikaf." (HR. Al-Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)

I'tikaf untuk perempuan harus dilakukan dengan seizin suami atau wali, dan dilakukan di ruangan yang tertutup di masjid sehingga tidak terlihat kaum lelaki. Beberapa masjid biasanya menutup bagian-bagian tertentu dengan hijab atau tabir, sehingga kaum lelaki tidak bisa melihat bagian kaum perempuan, begitu pun sebaliknya. Hal ini sangat penting dilakukan, sebab saat i'tikaf, misal dalam kondisi tertidur, aurat bisa terlihat. Terpisahnya ruangan secara ketat juga membantu meluruskan niat, sebab pertemuan laki-laki dengan perempuan seringkali diikuti dengan hal-hal yang bisa mengurangi konsentrasi ibadah.

Bolehkah i'tikaf di rumah? Sebagaimana disebutkan di atas, melaksanakan ibadah i'tikaf di rumah tepatnya di ruangan dalam rumah yang dikhususkan untuk sholat hukumnya boleh dan sah dilakukan bagi perempuan menurut pandangan Imam Abu Hanifah. Sementara imam lain mengharuskan di masjid. Pendapat Imam Abu Hanifah ini tampak cukup ringan, terutama jika diterapkan bagi ibu-ibu yang masih 'rempong' mengurus anak kecil namun tetap ingin mendapatkan keutamaan Ramadan. Beberapa keluarga menyediakan tempat khusus untuk shalat, misal ruang kecil yang digunakan sebagai semacam mushola. Tempat ini bisa digunakan untuk beri'tikaf. Namun, afdhalnya tentu tetap di masjid. Wallahu a'lam. [US].

Posting Komentar untuk "Apa dan Bagaimanakah I'tikaf di Bulan Ramadan?"