Kritik Terhadap Normalisasi Arab - Israel
Oleh Yeni Mulati (Penulis, Pegiat Literasi)
Mulai tahun 2020, sejumlah negara Arab mulai membuka diri dengan menjalin hubungan diplomasi dengan Israel. Dari 22 anggota Liga Arab, 6 negara telah bergabung dalam sebuah proses yang disebut sebagai normalisasi hubungan Arab-Israel.
Istilah normalisasi hubungan Arab-Israel beberapa tahun terakhir ini ramai diperbincangkan. Beberapa negara muslim, khususnya negara di Arab, dikabarkan telah setuju untuk melakukan normalisasi dengan Israel. Mesir, Yordania, Maroko, Sudan, Bahrain, dan UEA adalah negara-negara yang telah melakukan proses normalisasi dengan Israel. Sementara itu, Arab Saudi yang disebut-sebut juga sedang proses melakukan normalisasi, menghentikan proses setelah pecah perang antara Palestina melawan Israel yang berlangsung sejak 7 Oktober hingga sekarang.
Apakah normalisasi hubungan Arab Israel itu? Dan mengapa Palestina menyebut bahwa bangsa-bangsa yang melakukan normalisasi dengan Israel adalah pengkhianatan?
Konsep normalisasi hubungan antara Arab dan Israel adalah upaya untuk menciptakan hubungan diplomatik, ekonomi, dan politik yang normal antara negara-negara Arab dan Israel. Kita semua tentu tahu, bahwa sejarah hubungan antara Arab dan Israel tidak pernah harmonis, dan selalu diwarnani dengan perang dan konflik berkepanjangan. Penyebab utama ketidakharmonisan itu adalah masalah konflik Israel-Palestina yang berlangsung sejak tahun 1948. Normalisasi ini merupakan suatu upaya untuk mengatasi ketegangan dan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Negara pertama yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel adalah Mesir dan Yordania, dua negara yang berbatasan langsung dengan Israel. Disusul UEA pada 13 Agustus 2020, dan negara-negara lainya. Normalisasi hubungan Arab-Israel ini dimediasi oleh AS yang saat itu diperintah oleh Presiden Donald Trump.
Jika dirunut lebih lanjut, Perjanjian Camp David pada tahun 1978 antara Israel dan Mesir telah membuka jalan bagi normalisasi hubungan antara kedua negara tersebut. Selain itu, Perjanjian Oslo pada tahun 1993 antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menjadi langkah awal menuju normalisasi hubungan.
Menurut Israel dan Amerika Serikat, normalisasi hubungan tersebut juga bisa menjadi pintu bagi kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan antara Israel dan negara-negara Arab. Investasi, perdagangan, dan pembukaan perbatasan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja di kawasan tersebut.
Secara geopolitik, beberapa negara Arab yang setuju melakukan normalisasi, bisa jadi melihat normalisasi dengan Israel sebagai cara untuk memperkuat posisi mereka dalam geopolitik regional. Salah satu ancaman bersama bagi negara-negara Arab, seperti Iran, bisa mereka hadapi bersama-sama. Selain itu, kerja sama dalam bidang keamanan dan intelijen antara Israel dan negara-negara Arab dianggap dapat membantu mengatasi ancaman terorisme dan masalah keamanan regional.
Barat tentu sangat menyokong kebijakan normalisasi ini, dan bahkan memberikan insentif ekonomi dan politik kepada negara-negara yang berpartisipasi dalam normalisasi.
Kritik Keras Terhadap Normalisasi
Palestina merupakan pihak yang paling dirugikan dalam konteks ini. Normalisasi hubungan Arab-Israel telah membuat hubungan mereka menjadi "mesra", sementara Liga Arab sebenarnya masih memiliki PR besar yang belum dikerjakan, yaitu mengawal kemerdekaan Palestina.
Sebagian besar negara Arab dengan tegas juga menyatakan bahwa normalisasi hubungan Arab-Israel juga merupakan pengkhianatan terhadap Palestina. Beberapa negara seperti Libya, Qatar, Iran, Kuwait, Yaman, juga Turki. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia juga tegas menolak normalisasi.
Normalisasi hubungan antara Arab dan Israel merupakan sebuah pengakuan atas tindakan Israel melakukan pendudukan terhadap Palestina. Sementara, masalah yang terjadi di Palestina menuntun penyelesaian yang adil bagi rakyat Palestina.
Rakyat Palestina sendiri, hingga saat ini masih kokoh melakukan perlawanan untuk kemerdekaan negerinya. Berbagai gerakan perlawanan, baik secara diplomatis, gerakan narasi kemerdekaan, hingga perlawanan bersenjata terus dilakukan. Serangan 7 Oktober 2023 merupakan sebuah "pernyataan" ke dunia internasional, bahwa Palestina masih ada, dan masih terus melakukan perlawanan. Meski tetangga mereka, yang sebenarnya memiliki tanggung jawab besar membantu kemerdekaan mereka sebagaimana sudah mulai berasyik-masyuk dengan penjajah negeri mereka.
Selama beberapa dekade, 22 anggota Liga Arab berkomitmen untuk mendukung kemerdekaan Palestina, sebagaimana tujuan didirikannya Liga tersebut. Namun, alih-alih mendukung, satu per satu dari mereka justru "main mata" dan bermesraan dengan Israel, musuh besar mereka.
Menyebalkan, bukan?
1 komentar untuk "Kritik Terhadap Normalisasi Arab - Israel"